Ariel Peter Pan, Betharia Sonata, Pamer Toket atau Tetek, Payudara

Ariel Peter Pan, Betharia Sonata, Pamer Toket atau Tetek, Payudara
Golkar Puput Novel Jurkan Airin Rachmi Diany

PENCITRAAN RATU ATUT CHOSIYAH

Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

Merampok dengan Senyum Maut, Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib

Merampok dengan Senyum Maut, Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib
Merampok dengan Senyum Maut, Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib

Minggu, 10 Juli 2011

Cah Pamulang Ferry Muchlis Ariefuzzaman HMI


Dinasti H. Tb. Chasan Sochib: Sang Gubernur Jenderal dari Banten

Kemenangan Airin Rachmi Diany dalam pemilukada ulang di Tangerang Selatan dan kemenangan Heryani dalam pemilukada ulang di Pandeglang mengukuhkan kekuasaan dinasti Chasan Sochib di wilayah Pro­vinsi Banten. Airin yang terpilih sebagai Walikota Tangerang Selatan periode 2011-2016 adalah menantu dari Chasan Sochib, Heryani yang terpilih sebagai Wakil Bupati Pandeglang adalah isteri beliau, dan Gubernur Provinsi Banten itu sendiri, Ratu Atut Chosiyah, adalah anaknya. Kemenangan Airin dan Heryani memperkuat jaringan kekuasaan dinasti Chasan Sochib di Banten.

Membangun Kerajaan Bisnis dan Politik di Banten

Tahun 1960-an, nun jauh di pe­dalaman Banten, seorang jawara bernama Tubagus Chasan Sochib melakukan pengawalan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Tak cukup hanya meng­awal, sang jawara mulai merin­tis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan logistik bagi Kodam VI Siliwangi (Gandung Ismanto, Asasi, Nov-Des, 2010). Kodam Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Ko­dam IV Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum dan sesudah tragedi 1965 (Agus Sutisna (ed.), 2001).

Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di Banten, Chasan Sochib men­dapat­kan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi dan Peme­rintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bi­dang konstruksi banyak diberi­kan kepada Chasan Sochib. Tahun 1967, Chasan Sochib mendirikan PT. Sinar Ciomas Raya yang sampai saat ini merupa­kan perusahaan terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya (van Zorge Report, Januari 21, 2010). Untuk me­man­tap­­kan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah Banten, Ga­bung­an Pengusaha Konstruksi Nasio­nal Indonesia Banten, dan Lem­baga Pengembangan Jasa Kon­struk­si Nasional Indonesia Banten.

Ketika terjadi reformasi, Chasan Sochib mampu mentransformasi diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. Meminjam kerangka teoritis Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), Chasan Sochib adalah the old predator yang mampu mereor­gani­sir kekuasaannya sehingga dia tak lenyap digerus arus perubah­an. Chasan Sochib mampu menjelma menjadi the new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten. Bahkan, dalam kasus Banten, Chasan Sochib jauh lebih ber­kuasa saat ini dibandingkan dengan­ era Orde Baru.

Pada awal perubahan di Banten, Chasan Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru. Chasan Sochib khawatir bahwa perubahan ini akan mengancam keberlangsung­an relasi bisnis dan politiknya dengan­ pejabat di Provinsi Jawa Barat. Namun seiring dengan makin membesarnya arus gerakan pembentukan Provinsi Banten, Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif.

Perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansialnya, Chasan Sochib membantu gerakan peme­kar­an dan mendapatkan peng­akuan sebagai tokoh pembentuk­an Provinsi Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai lebih agresif me­nyusun kekuatan politiknya. Dulu pada masa Orde Baru, Chasan Sochib hanya bertindak sebagai client capitalism (meminjam istilah Richard Robison, 1990) yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer, tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat. Dengan adanya struktur politik yang baru, Chasan Sochib bertindak secara aktif menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.

Bermula dari upaya memaju­kan Ratu Atut sebagai calon wakil gubernur dan sukses memenang­kan­nya, Chasan Sochib me­ran­cang anggota keluarga besar­nya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan bu­daya. Hasil­nya sangat sukses (lihat ilustrasi di atas). Chasan Sochib memang tak me­megang jabatan publik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah “gubernur jenderal” menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.

Lawan-Lawan Politik

Dinasti Chasan Sochin memang telah merajai politik di Banten, tetapi ada sejumlah kelompok yang terus melakukan perlawanan terhadap kekuasaan tersebut. Diantara­ lawan-lawan politik terdapat­­ elite-elite politik yang me­ng­uasai sejumlah daerah di Ban­ten dan kelompok politik Islam.

Kelompok-kelompok elite po­­litik itu sebenarnya juga membang­un dinastinya masing-masing. Di Kabupaten Lebak, Mulyadi Jayabaya yang menjabat sebagai Bu­pati Lebak berhasil mengantar­kan kedua puterinya, Diana Jayabaya sebagai anggota DPRD Provinsi Banten dan Iti Oktavia Jayabaya sebagai anggota DPR RI. Adik perempuannya, Mulyanah, terpilih menjadi ang­go­ta DPRD Lebak. Demikian juga suami Mulyanah, Agus R Wisas, menjadi anggota DPRD Ban­ten. Di Pandeglang ada Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang (Ketua DPW PPP Banten) yang berhasil meng­antar­kan isterinya, Irna Narulita Dimyati sebagai anggota DPR RI. Di Kota Tangerang, terdapat nama Wahidin Halim yang telah ber­­kuasa sebagai Walikota Tangerang­ selama dua periode. Adiknya Wahidin, Suwandi sempat maju sebagai bakal calon Walikota Tangerang Selatan tetapi gagal. Di Kabupaten Tangerang, Bupati Ismet Iskandar mengantarkan kedua putera-puterinya sebagai anggota legislatif (Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen terpilih se­bagai anggota DPR RI dan Intan Nurul Hikmah menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang).

Dalam sejumlah pemilukada, elite-elite lokal berperang memperebutkan kekuasaan. Di Lebak, Mulyadi Jayabaya pernah menolak lamaran Ratu Tatu Chasanah untuk menjadi calon Wakil Bupati Lebak. Di Kabupaten Pandeglang, Irna Narulita Dimyati berhadapan dengan Heryani dalam pemilukada 2010. Di Kabupaten Tange­rang, Ismet Iskandar berhasil me­ng­alahkan Airin dalam pemilukada 2008. Tahun 2012, akan diada­kan Pemilukada Gubernur Banten. Wahidin Halim dan Mulyadi Jayabaya mulai meramaikan bursa pencalonan bersaing dengan Ratu Atut Chosiyah. Tensi politik cukup tinggi sehingga Chasan Sochib mengirimkan surat kecaman terhadap Wahidin dan Mulyadi (Banten Post, 15 Januari 2011).

Kelompok politik Islam mem­punyai kekuatan yang signi­fikan di Banten. Sejak dulu, Banten dikenal sebagai wilayah yang kental nuansa Islamnya. Islam tak hanya mempengaruhi reli­giusitas tetapi juga dunia politik di Banten, seperti pemberlakuan Syariat Islam di sejumlah kabupa­ten­. Kelompok politik Islam menentang dinasti Chasan Sochib. Mulai dari isu akhlak ang­gota dinasti Chasan Sochib sampai pada soal rencana pemberlakuan Syariat Islam untuk Provinsi Banten yang ditolak oleh dinasti Chasan Sochib.

Perubahan kultur politik Banten­ tak bisa bergantung pada perlawanan kedua kelompok politik diatas, yakni elite lokal dan politik Islam. Para elite politik lokal yang menentang dinasti Chasan Sochib juga melakukan praktik politik serupa, yaitu membentuk dinasti politiknya masing-masing. Selain itu, ada pula elite politik yang pada awalnya menentang keras kekua­saan dinasti Chasan Sochib ternyata berbalik. Taufik Nuriman (Bu­pati Serang) dan Benyamin Davnie adalah contoh dari elite politik yang berbalik posisi politiknya. Taufik Nuriman pernah berseteru de­ngan­ Chasan Sochib. Keduanya saling melaporkan pencemaran nama baik ke Kepolisian Banten. Namun, pada Pemilukada Ka­bupaten Serang tahun 2010, Taufik Nuriman malah meng­gan­deng Ratu Tatu Chasanah, anak dari Chasan Sochib. Benyamin Davnie sempat maju menjadi calon wakil gubernur dari PKS menantang Ratu Atut yang maju sebagai calon gubernur dari Partai Golkar dalam Pemilu­kada Provinsi Banten 2007. Da­lam pe­mi­lukada tahun 2010 di Kota Tange­rang Selatan, Benyamin Davnie mendampingi Airin yang tak lain adalah adik ipar dari Ratu Atut.

Perlawanan yang diberikan oleh kelompok Islam juga tak bisa diharapkan. Meski mereka keras memperjuangkan keyakinan politik Islam, tak jarang mereka bersekutu dengan dinasti Chasan Sochib. Kembali pada kasus Taufik Nuriman yang didukung oleh PKS banyak mempraktekkan nilai-nilai syariat Islam di Ka­bu­pa­ten Serang, tetapi akhirnya ber­koalisi dengan dinasti Chasan Sochib.

Lawan Baru

Peluang untuk menghentikan angkara kekuasaan di Banten terbuka lebar dengan banyaknya kasus yang menimpa keluarga besar dinasti Chasan Sochib. Kasus-kasus itu meliputi isu ko­rupsi, penyalahgunaan wewenang, penggunaan ancaman kekerasan, politik uang dan kecurangan dalam pemilu dan pemilukada. Hampir semua anggota dinasti Chasan Sochib pernah dilaporkan ke kepolisian, kejaksaan, KPK, KPU sampai MK. Memang tak satupun anggota keluarga Chasan Sochib yang dihukum, tetapi praktik politik dinasti Chasan Sochib harusnya membuka mata urang (rakyat) Banten untuk segera memulai perubahan.

Saat ini telah muncul sejumlah kelompok anak-anak muda yang peduli akan Banten yang lebih baik. Mereka ada di organi­sasi-organisasi yang giat memperjuangkan isu antikorupsi, antinepotisme, antipolitik-dinasti, dan mendukung politik kesejahtera­an. Perlawanan seperti inilah yang diharapkan akan meluas se­hingga tak muncul lagi sejumlah “gu­ber­nur jenderal” berikutnya. HBX

Minggu, 09 Januari 2011

Ternyata Pak Beye (Presiden RI), Pak Tommy Winata Dekat Dengan Keluarga Chasan Sochib : Airin Rachmi Diany


Banjarmasinpost.co.id - Sabtu, 27 November 2010
Foto:tribunnews BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kedekatan dengan sejumlah pengusaha, di antaranya pemilik Grup Artha Graha, Tommy Winata.

Kedekatan SBY dengan sejumlah pengusaha tersebut diceritakan dalam buku "Pak Beye dan Kerabatnya" karya Wisnu Nugroho. Dalam buku tersebut, Tommy Winata disebut sebagai 'Pak Tewe'. "Ketika SBY kampanye pemenangan Pemilu, baru terungkap siapa-siapa saja pengusaha yang di sekitarnya," ujar Wisnu dalam peluncuran bukunya itu di Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (26/11/2010).

Kedekatan Pak Tewe dengan Pak Beye, kata Wisnu, terungkap ketika Pak Tewe tiba-tiba memasang iklan yang mengucapkan selamat atas kemenangan SBY sebagai presiden. Pun, ketika Pak Tewe diberi kepercayaan oleh Pak Beye untuk menggarap sejumlah proyek dalam rehabilitasi Aceh pasca tsunami 2004. "Sejumlah proyek pembangunan, pertanian, pupuk, infrastruktur," kata Wisnu.

Kedekatan Pak Beye dengan Pak Tewe juga terlihat saat mereka bersama-sama menghadiri panen raya padi jenis bernas yang diusahakan perusahaan Pak Tewe di persawahan Sukabumi. Juga ketika Pak Tewe meminjamkan pesawatnya untuk kampanye Pak Beye. "Pak Tewe sebelumnya dekat juga dengan Pak Kalla. Di tengah kunjungan kerja ke Makassar, Pak Tewe mempertemukan sembilan peneliti dan pengusaha benih asal China dengan Pak Kalla," kata Wisnu.

Bukan hanya Pak Tewe, lanjut Wisnu, pemilik grup Bakrie, Aburizal Bakrie, juga merupakan pengusaha yang dekat dengan Pak Beye. "Yang orang banyak tahu selama ini Pak Ical hanya hubungan politik, tapi sebenarnya sebagai pengusaha juga," tambah Wisnu.

Dalam bukunya Wisnu menulis, penguasa dan pengusaha saling membutuhkan. Karena itu, banyak penguasa ingin jadi pengusaha dan sebaliknya.

Momentum Pemilu 2009, tulis Wisnu, makin merekatkan hubungan keduanya. Dalam sebulan terakhir di 2009, lebih dari 1.000 pengusaha bergantian datang ke Istana untuk berbagai kepentingan dan urusan. Siapa lagi pengusaha yang dekat dengan SBY? Temukan dalam buku "Pak Beye dan Kerabatnya."

PREMANISME SEJENIS TOMMY WINATA : Dalam Airin Rachmi Diany (Tangsel 2011)


Catatan A. Umar Said

http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Premanisme%20Tommy%20Winata%20harus%20dilawan.htm

PREMANISME SEJENIS TOMMY WINATA
HARUS DILAWAN


Aksi penyerbuan dan terror oleh premanisme pendukung Tommy Winata terhadap majalah mingguan Tempo telah menimbulkan reaksi yang cukup ramai dari berbagai fihak. Ini adalah pertanda baik. Sebab, dengan terjadinya penyerbuan dan terror yang dilakukan terhadap Tempo ini maka masalah premanisme di negeri kita dapat diblejeti, dibongkar dan dikutuk. Sebenarnya, masalah premanisme yang dipertontonkan oleh Tommy Winata adalah hanya sebagian kecil saja dari premanisme yang berpuluh-puluh tahun sudah terjadi selama Orde Baru di bawah Suharto dkk. Selama rezim militer berkuasa, premanisme telah merajalela dalam segala bentuk dan ukuran.

Sebenarnya, fenomena Tommy Winata adalah cermin miniatur dari sistem politik, ekonomi, kebudayaan dan moral Orde Baru. Pada hakekatnya, dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda, fenomena Tommy Winata adalah sejenis fenomena Eddy Tanzil, Hendra Rahardja, Bob Hasan, Sudono Salim, Probosutedjo, Ibnu Sutowo; Haji Taher (Pertamina), Tommy Suharto atau mereka yang tersangkut perkara BLBI, dan perkara-perkara besar lainnya. Semua kasus-kasus ini adalah produk dari Orde Baru.

Kalau dikaji dalam-dalam, nyatalah bahwa rezim militer Orde Baru adalah diktatur yang dijalankan oleh suatu kekuasaan yang merupakan mafia yang dikepalai oleh Suharto. Diktatur mafia ini – yang tulang punggungnya adalah TNI-AD dan Golkar - berhasil diselubungi dengan atribut-atribut pemerintahan yang berdasarkan “demokrasi” (palsu), seperti MPR, DPR, dan pemilihan umum. Berkat jaring-jaringan mafia yang luas dan menyeluruh, maka selama 32 tahun Orde Baru dapat mengontrol dan menguasai semua bidang penting kehidupan bangsa.


FENOMENA TOMMY WINATA

Melihat sejarah hidupnya maka nampak dengan nyata bahwa Tommy Winata adalah produk yang tipikal dari Orde Baru. Seperti halnya banyak konglomerat hitam lainnya, ia dibesarkan dan juga menjadi besar oleh sistem politik dan kekuasaan mafia Orde Baru. Pada hakekatnya, diktatur militer Suharto dkk adalah kekuasaan mafia dalam bentuknya yang paling tinggi. Dengan kalimat lain, Orde Baru adalah manifestasi dari premanisme. Selama mafia ini berkuasa segala macam pelanggaran hukum dan norma-norma keadilan telah banyak dilanggar, dan selama puluhan tahun pula.

Orang-orangnya Suharto telah dibiarkan menyalahgunakan kekuasaan, dibiarkan melanggar hukum dan undang-undang, dibiarkan main korupsi, dibiarkan merugikan rakyat, asal jangan menentang Orde Baru dan jangan melawan Suharto. Jaring-jaringan mafia ini, yang menguasai sepenuhnya bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, adalah sangat kuat. Itu sebabnya mengapa walaupun banyak sekali korupsi terjadi selama puluhan tahun, sedikit sekali (hanya beberapa orang) koruptor yang ditangkap dan diadili. Itu sebabnya juga walaupun banyak sekali terjadi pelanggaran HAM (umpamanya orang diculik atau dibunuh), tidak diadakan tindakan.

Dalam jangka lama sekali, jaring-jaringan mafia ini (yang terutama sekali terdiri dari tokoh-tokoh TNI-AD dan Golkar) saling melindungi, saling menutupi, saling tolong-menolong atau “saling mengerti”. Banyak orang bisa menyaksikan sendiri bahwa banyak jenderal TNI dan tokoh-tokoh utama Golkar telah memperkaya diri dengan cara-cara yang “tidak normal”, atau dengan jalan yang tidak sah secara moral. Jaring-jaringan mafia (militer dan sipil) ini mencakup juga sejumlah besar konglomerat hitam, yang kegiatan mereka dalam bidang perekonomian dan keuangan telah menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian bagi negara dan bangsa (harap ingat: masalah BLBI). Kasus Tommy Winata adalah cermin tipikal dari sistim mafia atau premanisme yang banyak dipraktekkan selama Orde Baru.


(Salah satu di antara banyak contohnya yalah kasus gugatan Nyonya Dewi Sukarno atas kepemilikan tanah seluas 5,5 hektar yang terletak di kawasan Jalan Sudirman, yang menurut Tempo Interaktif jatuh di tangan Tommy Winata. Untuk mengetahui lebih jauh cerita yang bisa berbuntut panjang ini, harap baca wawancara Dewi Sukarno dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak/).


SEJAK MUDA HUBUNGAN DENGAN TENTARA

Masalah Tommy Winata adalah soal yang menarik dipelajari. Oleh karena itu, perlu dianjurkan kepada berbagai kalangan ilmiah (antara lain : politik, ekonomi, moral, kriminologi) untuk menjadikan fenomena Tommy Winata sebagai objek studi atau objek riset. Kasus Tommy Winata, seperti halnya kasus Tommy Suharto (atau banyak konglomerat hitam lainnya) mengandung aspek-aspek yang mencerminkan betapa rusaknya sudah moral di kalangan elite kita. Mereka menghalalkan segala cara (antara lain : korupsi, kolusi, nepotisme, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan) untuk memperkaya diri sambil merugikan kepentingan rakyat dan negara.

Selama ini sudah banyak informasi atau berita tentang Tommy Winata yang disiarkan oleh media di Indonesia dan di luarnegeri. Kalau kita buka Internet dan kita gunakan GOOGLE maka segala macam bahan mengenai Tommy Winata bisa kita temukan di situ. Dengan kata kunci “Tommy Winata” kita bisa buka 437 bahan yang bersangkutan dengan macam-macam persoalan tokoh yang satu ini . Sedangkan dengan kata kunci “Artha Graha” kita bisa temukan 2880 bahan. (Artha Graha adalah salah satu perusahaan induk dari ratusan perusahaan yang dimiliki atau diurusi oleh Tommy Winata).

Siapa itu Tommy Winata? Untuk singkatnya, bisalah kiranya dikatakan bahwa ia adalah orang yang mempunyai kelihaian, kemampuan, kecerdasan, kelicikan, yang luar biasa. Menurut tulisan dalam Kompas 22 April 2002, pengusaha muda yang berumur 43 tahun (waktu itu, sekarang 44 tahun) itu dilahirkan di Pontianak. Sejak tahun 1972, ketika ia berumur 15 tahun, sudah punya hubungan erat dengan militer. Mulanya ia diperkenalkan oleh seorang seniornya kepada sebuah instansi milier di Singkawang, Kalimantan Barat. Di sana Tommy membangun sebuah mess tentra dengan biaya Rp 60 juta. Hubungan itu kemudian dibina. Selain mess, ia membangun barak, sekolah tentara, menyalurkan barang-barang ke markas tentara di Irian Jaya. Hingga akhirnya di era tahun 1970-an ia menjadi seorang kontraktor yang andal dan membangun projek militer di Irian Jaya, Ujung Pandang sampai Ambon.

Seperti Liem yang bertemu Soeharto atau Bob bertemu Gatot Subroto, Tommy, anak miskin yatim piatu itu beruntung mengenal jenderal Tiopan Bernard Silalahi, mantan Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan VI Suharto, tulis Kompas.


ARTHA GRAHA DAN KARTIKA EKA PAKSI

Masih menurut Kompas, berkat hubungan dengan Silalahi – yang hingga kini menjadi tokoh kunci dalam Grup Artha Graha – Tommy memulai business dengan memperoleh order pembangunan barak-barak asrama militer di Irian jaya, ketika dia berumur 15 tahun. Di Irian itu pula dia berkenalan dengan Yorris Raweyai, ketua Pemuda Pancasila – sebuah organisasi yang dikenal memiliki hubungan khusus dengan militer.

Sejak mengenal Yayasan Kartika Eka Paksi, lewat PT Danayasa Arthatama yang didirikannya pada tahun 1989, masa keemasan Tommy pun tiba. Projek raksasa kawasan bisnis Sudirman yang dilahirkan Tommy dengan memakan investasi US $ 3,25 miliar itu bakal menjadi kawasan paling canggih dan diduga bakal meraup untung miliaran juta dollar. Tommy pun merambah ke bisnis perdagangan, konstruksi, properti, perhotelan, perbankan, transportasi, telekomunikasi sampai real estate. Akibat kesuksesan kongsi inilah, Tommy andalan militer dalam hal cari dana. Bisnis Kartika Eka Paksi yang bertalian dengan Artha Graha menghasilkan keuntungan tak sedikit yang antara lain untuk menghidupi barak tentara di seluruh negeri dan kegiatan operasi militer, tulis Kompas.

Dari sekelumit cerita ini saja sudah dapat diperoleh gambaran betapa hebatnya hubungan Tommy Winata dengan pejabat-pejabat atau tokoh-tokoh militer. Begitu hebatnya hubungan ini sehingga ada yang mengatakan bahwa Tommy Winata selama ini sudah “mengantongi” puluhan jenderal, dan bahwa ia dengan gampang bisa menghubungi berbagai instansi militer, termasuk Kodam-Kodam di seluruh Indonesia.

Rasanya tidak perlu dijelaskan panjang lebar lagi, bahwa hubungan yang erat Tommy Winata dengan militer ini kebanyakan tidaklah ada urusannya dengan “pengabdian” terhadap negara dan rakyat, melainkan urusan uang, urusan projek, urusan penggunaan (dan penyalahgunaan) kekuasaan, urusan suapan dan komisi gelap, dan juga urusan pemerasan dan penipuan dalam macam-macam bentuknya.


BISNIS REMANG-REMANG

Masih menurut Kompas, bisnis remang-remang atau perjudian di sejumlah sudut di Jakarta ataupun di sejumlah pulau di kawasan Pulau Seribu, terkait dengan Tommy Winata. Bisnis sampingan Tommy: perjudian, obat bius, dan penyelundupan. Sebagaimana dilansir sumber TEMPO di tahun 1999, Tommy Winata adalah salah satu dari sembilan tokoh (“Gang of Nine”) dalam bisnis gelap yang merajalela, tanpa aparat keamanan bisa memberantasnya. Tokoh lain dalam bisnis ini, meliputi nama-nama seperti Yorrys sendiri, Edi “Porkas” Winata, dan Arie Sigit Soeharto.

Mantan presiden Abdurrahman Wahid pun dalam sebuah diskusi publik dengan terang-terangan menyebut Tommy adalah cukong dari bisnis perjudian di kawasan Pulau Ayer (di Kepulauan Seribu). Malah dirinya telah memerintahkan Kapolri saat itu Rusdihardjo dan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menutup pulau itu dan mensita kapal pesiar yang digunakan untuk perjudian ditahan (Kompas, 22 April 2002).

Jadi; seperti bisa dibaca di banyak bahan, Tommy Winata adalah seorang konglomerat yang punya kaki dan tangan yang bisa main di banyak tempat. Dalam tempo belasan tahun ia berhasil mendirikan imperiumnya Gedung megah dan indah Artha Graha yang terdiri dari 29 lantai di kawasan Sudirman merupakan saksi dan bukti bahwa Tommy Winata adalah seorang “kuat” berkat banyaknya uang yang dikuasainya. Dengan uang ini ia bisa membeli banyak jenderal dan pejabat-pejabat tinggi negara (atau tokoh masyarakat) hampir di semua tingkat dan di semua bidang.

Apakah negeri kita, rakyat kita, atau bangsa kita diuntungkan dengan adanya orang-orang sejenis Tommy Winata, masih bisa dipertanyakan. Yang jelas ialah bahwa konglomerat hitam (dari berbagai suku dan ras atau keturunan) adalah oknum-oknum yang karena kerakusannya untuk menumpuk kekayaan, maka tidak peduli lagi apakah segala tindakan mereka itu bermoral atau tidak, atau apakah kegiatan mereka itu merugikan kepentingan rakyat dan negara atau tidak. Sudah banyak bukti bahwa para konglomerat hitam adalah hanya merupakan benalu di tubuh bangsa, yang kehadirannya banyak menimbulkan penyakit. Mereka adalah musuh masyarakat.


AROGANSI KEKUASAAN HARUS DILAWAN

Apa yang dipertontonkan oleh Tommy Winata beserta para pendukungnya di kantor Tempo dan kemudian di kantor polisi Jakarta adalah sebagian dari praktek-praktek premanisme yang pernah dilakukan secara halus atau secara kasar. Ini pernah terjadi terhadap kantor Humanika, Forum Keadilan, masalah tanah Trakindo di Cilandak, penyanderaan terhadap pengusaha-pengusaha India. Arogansi ini mencapai puncaknya oleh orang-orang kepercayaan Tommy Winata di kantor polisi (baca laporan kronologis wartawan Tempo Achmad Taufik). Dari kejadian ini orang dapat kesan bahwa polisi sudah tunduk atau takut kepada Tommy Winata.

Reaksi yang hebat dari berbagai fihak terhadap peristiwa majalah Tempo adalah tepat dan sangat diperlukan dewasa ini, mengingat bahwa premanisme dalam segala bentuknya memang harus dilawan sekeras-kerasnya oleh semua golongan. Pada hakekatnya, premanisme adalah tindakan tidak menghargai hukum dan lebih mengutamakan ancaman, kekerasan, kekuatan, pengaruh, atau kekuasaan tanpa mengindahkan keadilan dan kepatutan. Premanisme inilah yang telah dilakukan oleh para pendukung Orde Baru selama puluhan tahun, dengan berbagai cara dan bentuk. Dan premanisme Tommy Winata adalah bagian dari padanya.

Paris, 19 April 2003

* * *

Kritik Airin Rachmi Diany SH, MH untuk Dr. H. Anas Urbaningrum Fraksi Partai Demokrat 2011


Salah satu Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum telah menjadi ketua umum Partai Demokrat. Mantan anggota KPU ini mengalahkan pesaingnya di Kongres II Partai Demokrat, minggu ke-4 Juni lalu, yaitu Andi Malarangeng dan Marzukui Alie. Namun, ada isu bahwa di belakang ‘pendanaan’ menangnya Anas ini ada konglomerat Arta Graha Tomy Winata, sehingga bisa unggul menaklukkan perolehan suara lawan tandingnya. Meski masih perlu dibuktikan kebenarannya, namun gosip tersebut sempat beredar. Isu sebelumnya adalah dugaan keterlibatan Anas dalam kasus suap/korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Isu ini sempat muncul saat Anas mendeklarasikan diri menjadi calon ketua umum Partai Demokrat bulan lalu di Hotel Sultan Jakarta.

Acara deklarasi Anas Urbaningrum tersebut dilaksanakan di Hotel Sultan yang mewah dan berbintang lima di Jakartas, menurut sekretaris tim sukses Anas, Angelina Sondakh, sudah 359 orang check-in di Hotel Sultan untuk menyongsong malam acara deklarasi Anas pada medio April lalu (Koran Tempo, 15/4). Sungguh suatu “lompatan besar” bagi seorang Anas Urbaningrum bisa mendeklarasikan pencalonannya di hotel super mewah.

Anda bisa mengkalkulasikan sendiri harga kamar standar Hotel Sultan untuk minimal 2 malam (menurut web site hotel sultan hari ini room rate rata-rata mulai dari US$ 100 per malam), belum lagi biaya untuk penyelenggaraan, konsolodasi, mobilisasi dan mendatangkan artis. Kontras sekali dengan 8 tahun yang lalu, dimana Anas “hanya” seorang anggota KPU Pusat dan baru mentas jadi celeb politik Indonesia. Kalau kata Tukul Arwana masih ‘katro‘.

Seperti opini yang ditulis oleh Ferly Norman dalam situs Kompasiana, 15 April 2010, ia mengurai tentang dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus suap saat menjadi anggota KPU. Tepatnya tanggal 8 Juni 2005, Anas didampingi oleh Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan Anggota KPU lainnya Valina Sinka Subekti, mengadakan jumpa pers pengunduran dirinya sebagai anggota KPU. Disebabkan hengkangnya ia ke Partai Demokrat sebagai Ketua Bidang Politik. Padahal KPU Pusat saat itu ditengah sorotan publik akibat gratifikasi dan tertangkap basahnya Mulyana W Kusumah oleh KPK ketika akan menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman.

Sungguh tindakan “penyelematan diri” yang gemilang dan timing yang tepat saat itu. Terbukti pamor Anis makin mencorang setelah itu, sedangkan kemudian beberapa Anggota KPU masuk bui dan yang lainnya pamornya telah tenggelam di hiruk pikuk dunia politik Indonesia. Jadi jangan heran, Bung Anas membayar penyelamatan tersebut dengan retorika yang apik (kadang-kadang tidak nyambung) dan membela habis-habisan kebijakan pemerintah ketika PD dirundung malang akibat gempuran kaus pat-gulipat Bank Century.

Untuk menyegarkan ingatan pembaca maka penulis merangkum beberapa kesaksian seputar kasus KPU saat itu. KPU ketika itu menerima gratifikasi (kick back) dari 11 rekanan KPU sebesar Rp 20 miliar. Kemudian berdasarkan saksi-saksi di persidangan terungkap fakta sbb:

1. Kesaksian Mulyana W Kusumah, anggota KPU Pusat

• Tertangkap basah oleh pegawai KPK ketika menyuap ketua sub tim investigasi BPK sebesar Rp 100 juta.
• “Saya memang mengirim pesan pendek kepada Anas Urbaningrum, yang isinya meminta bantuan menggenapi uang Rp 300 juta untuk auditor BPK”. “Dalam jawabannya, Anas berjanji akan membicarakan permintaan tersebut dengan ketua KPU”. Tetapi Hakim Tipikor kala itu tidak mendalami kesaksian ini. Sehingga Anas “lepas” dari jeratan KPK saat itu.

2. Hamdani Amin, Mantan Kabiro Keuangan KPU Pusat

• Semua anggota KPU mengetahui dana taktis yang berasal dari rekanan KPU senilai total Rp 20 miliar. Juga mereka (anggota KPU) telah menerima dana tersebut , mulai dari pimpinan sampai pegawai harian di lingkungan KPU (detik.com, 8/6/2005).
• Menurut Hamdani, setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu (hampir Rp 1 miliar), Ketua dan Wakil Ketua KPU tentu saja lebih besar.
• Saya mencatat semua pengeluaran dan peruntukan dari dana taktis tersebut secara detail.

3. Hasil Audit BPK terhadap KPU Pusat

• BPK menemukan 33 indikasi penyimpangan senilai lebih dari Rp 179,444 miliar dalam pengadaan barang dan jasa Pemilu 2004 oleh KPU.
• Semua penyimpangan tsb terdiri dari 4 bagian: Kekurangan penerimaan pajak dan keterlambatan pajakkepada rekanan, indikasi kerugian negara, dan pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai dengan ketentuan, antara lain tidak dilampiri dokumen. Bagian keempat adalah pemborosan keungan negara termasuk adanya mark-up dalam pengadaan barang dan jasa.

Akibatnya kasus ini, Ketua KPU beserta 3 orang lainnya masuk bui. Dan lima orang anggota KPU lainnya (termasuk Anas) lepas dari jeratan hukum.

Sekarang dengan “beban sejarah” seperti itu Saudara Anas berani mencalonkan dirinya menjadi Ketua Umum Demokrat. Entah siapa yang mengelus-elus Anas sehingga maju mencalokan diri. Karena untuk menjadi Ketua Umum Partai di Indonesia, tidak hanya dibutuhkan kehebatan tetapi juga punya “gizi” yang gemuk.

Nampaknya, dengan masa lalu Anas di KPU dulu, akan menjadikannya “tawanan” di mata beberapa oportunis dan para koruptor kakap di Indonesia. Jika ia berani melibas para mafia hukum tersebut maka pasti menimbulkan perlawanan yang kuat dari para koruptor tersebut. Kasus KPU Pusat tahun 2005 akan menjadi sasaran tembak sekaligus alat “gertak” dari sang koruptor.

Sekarang timbul pertanyaannya, apakah Anas sudah lupa dengan masalah di atas? apa karena ia dalam eforia kemenangan Pilleg dan Pilpres PD dan “diselamatkan” oleh PD sehingga ia merasa PD (Percaya Diri)? Itulah yang harus dihitung-hitung olehnya. Jangan-jangan menjadi ketua Umum PD membuat dia dibui di masa depan. Seperti slogan orang Medan, Ini Medan Bung! tetapi untuk Anas berubah menjadi: “Ini politik (yang kejam) Bung”! Itulah sebabnya, tulisan ini diberi judul: “Anas Bos Demokrat, Koruptor Bahagia”. (*/Ferly Norman/Kompasiana)

Kamis, 29 April 2010

Kader Golkar Puput Novel Jurkan Airin Rachmi Diany


Kader Golkar Puput Novel Jurkan Airin Rachmi Diany
Walau karir tak cemenrlang namun dengan menempel pada kelaurga Ratu Atut, Kader Golkar Puput Novel Jurkan Airin Rachmi Diany berharap jadi Menteri PP.

Black Campign itu Wajib: Ratu Atut Chosiyah


Black Campign itu Wajib
Kita semua tahu bahwa dalam setiap pemelihan pimpinan daerah terdapat kampanye hitam. Itu sah saja malah wajib kata Ratu Atut Chosiyah yang diamini Airin Rachmi Diany bawha Black Campign itu Wajib.

Sita Nursanti Kawan Airin Rachmi DIany: Ratu Atut Chosiyah


Buta hatinya karena siau harta dunia. Sita Nursanti Kawan Airin Rachmi Diany: Ratu Atut Chosiyah

Airin Rachmi Diany Walikota Tangsel

Airin Rachmi Diany Walikota Tangsel
Airin Rachmi Diany Walikota Tangsel

Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib

Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib
Perambok angerang Selatan, Airin_dan_Wawan_Chaeri_Wardhana_Sochib

Ratu Atut Chosiyah: Airin Rachmi DIany

Ratu Atut Chosiyah: Airin Rachmi DIany
Ratu Atut Chosiyah: Airin Rachmi DIany

(1) Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

http://chintya.com/index/why-does-marissa-haque-hate-vina-panduwinata-so-much-foto-sexy.html

(1) Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

http://chintya.com/index/why-does-marissa-haque-hate-vina-panduwinata-so-much-foto-sexy.html

(1) Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

http://chintya.com/index/why-does-marissa-haque-hate-vina-panduwinata-so-much-foto-sexy.html

(1) Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

http://chintya.com/index/why-does-marissa-haque-hate-vina-panduwinata-so-much-foto-sexy.html

(1) Karya Ferry Ariefuzzaman (Ketua Timses Ratu Atut Chosiyah)

http://chintya.com/index/why-does-marissa-haque-hate-vina-panduwinata-so-much-foto-sexy.html