
Salah satu Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum telah menjadi ketua umum Partai Demokrat. Mantan anggota KPU ini mengalahkan pesaingnya di Kongres II Partai Demokrat, minggu ke-4 Juni lalu, yaitu Andi Malarangeng dan Marzukui Alie. Namun, ada isu bahwa di belakang ‘pendanaan’ menangnya Anas ini ada konglomerat Arta Graha Tomy Winata, sehingga bisa unggul menaklukkan perolehan suara lawan tandingnya. Meski masih perlu dibuktikan kebenarannya, namun gosip tersebut sempat beredar. Isu sebelumnya adalah dugaan keterlibatan Anas dalam kasus suap/korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Isu ini sempat muncul saat Anas mendeklarasikan diri menjadi calon ketua umum Partai Demokrat bulan lalu di Hotel Sultan Jakarta.
Acara deklarasi Anas Urbaningrum tersebut dilaksanakan di Hotel Sultan yang mewah dan berbintang lima di Jakartas, menurut sekretaris tim sukses Anas, Angelina Sondakh, sudah 359 orang check-in di Hotel Sultan untuk menyongsong malam acara deklarasi Anas pada medio April lalu (Koran Tempo, 15/4). Sungguh suatu “lompatan besar” bagi seorang Anas Urbaningrum bisa mendeklarasikan pencalonannya di hotel super mewah.
Anda bisa mengkalkulasikan sendiri harga kamar standar Hotel Sultan untuk minimal 2 malam (menurut web site hotel sultan hari ini room rate rata-rata mulai dari US$ 100 per malam), belum lagi biaya untuk penyelenggaraan, konsolodasi, mobilisasi dan mendatangkan artis. Kontras sekali dengan 8 tahun yang lalu, dimana Anas “hanya” seorang anggota KPU Pusat dan baru mentas jadi celeb politik Indonesia. Kalau kata Tukul Arwana masih ‘katro‘.
Seperti opini yang ditulis oleh Ferly Norman dalam situs Kompasiana, 15 April 2010, ia mengurai tentang dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus suap saat menjadi anggota KPU. Tepatnya tanggal 8 Juni 2005, Anas didampingi oleh Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan Anggota KPU lainnya Valina Sinka Subekti, mengadakan jumpa pers pengunduran dirinya sebagai anggota KPU. Disebabkan hengkangnya ia ke Partai Demokrat sebagai Ketua Bidang Politik. Padahal KPU Pusat saat itu ditengah sorotan publik akibat gratifikasi dan tertangkap basahnya Mulyana W Kusumah oleh KPK ketika akan menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman.
Sungguh tindakan “penyelematan diri” yang gemilang dan timing yang tepat saat itu. Terbukti pamor Anis makin mencorang setelah itu, sedangkan kemudian beberapa Anggota KPU masuk bui dan yang lainnya pamornya telah tenggelam di hiruk pikuk dunia politik Indonesia. Jadi jangan heran, Bung Anas membayar penyelamatan tersebut dengan retorika yang apik (kadang-kadang tidak nyambung) dan membela habis-habisan kebijakan pemerintah ketika PD dirundung malang akibat gempuran kaus pat-gulipat Bank Century.
Untuk menyegarkan ingatan pembaca maka penulis merangkum beberapa kesaksian seputar kasus KPU saat itu. KPU ketika itu menerima gratifikasi (kick back) dari 11 rekanan KPU sebesar Rp 20 miliar. Kemudian berdasarkan saksi-saksi di persidangan terungkap fakta sbb:
1. Kesaksian Mulyana W Kusumah, anggota KPU Pusat
• Tertangkap basah oleh pegawai KPK ketika menyuap ketua sub tim investigasi BPK sebesar Rp 100 juta.
• “Saya memang mengirim pesan pendek kepada Anas Urbaningrum, yang isinya meminta bantuan menggenapi uang Rp 300 juta untuk auditor BPK”. “Dalam jawabannya, Anas berjanji akan membicarakan permintaan tersebut dengan ketua KPU”. Tetapi Hakim Tipikor kala itu tidak mendalami kesaksian ini. Sehingga Anas “lepas” dari jeratan KPK saat itu.
2. Hamdani Amin, Mantan Kabiro Keuangan KPU Pusat
• Semua anggota KPU mengetahui dana taktis yang berasal dari rekanan KPU senilai total Rp 20 miliar. Juga mereka (anggota KPU) telah menerima dana tersebut , mulai dari pimpinan sampai pegawai harian di lingkungan KPU (detik.com, 8/6/2005).
• Menurut Hamdani, setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu (hampir Rp 1 miliar), Ketua dan Wakil Ketua KPU tentu saja lebih besar.
• Saya mencatat semua pengeluaran dan peruntukan dari dana taktis tersebut secara detail.
3. Hasil Audit BPK terhadap KPU Pusat
• BPK menemukan 33 indikasi penyimpangan senilai lebih dari Rp 179,444 miliar dalam pengadaan barang dan jasa Pemilu 2004 oleh KPU.
• Semua penyimpangan tsb terdiri dari 4 bagian: Kekurangan penerimaan pajak dan keterlambatan pajakkepada rekanan, indikasi kerugian negara, dan pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai dengan ketentuan, antara lain tidak dilampiri dokumen. Bagian keempat adalah pemborosan keungan negara termasuk adanya mark-up dalam pengadaan barang dan jasa.
Akibatnya kasus ini, Ketua KPU beserta 3 orang lainnya masuk bui. Dan lima orang anggota KPU lainnya (termasuk Anas) lepas dari jeratan hukum.
Sekarang dengan “beban sejarah” seperti itu Saudara Anas berani mencalonkan dirinya menjadi Ketua Umum Demokrat. Entah siapa yang mengelus-elus Anas sehingga maju mencalokan diri. Karena untuk menjadi Ketua Umum Partai di Indonesia, tidak hanya dibutuhkan kehebatan tetapi juga punya “gizi” yang gemuk.
Nampaknya, dengan masa lalu Anas di KPU dulu, akan menjadikannya “tawanan” di mata beberapa oportunis dan para koruptor kakap di Indonesia. Jika ia berani melibas para mafia hukum tersebut maka pasti menimbulkan perlawanan yang kuat dari para koruptor tersebut. Kasus KPU Pusat tahun 2005 akan menjadi sasaran tembak sekaligus alat “gertak” dari sang koruptor.
Sekarang timbul pertanyaannya, apakah Anas sudah lupa dengan masalah di atas? apa karena ia dalam eforia kemenangan Pilleg dan Pilpres PD dan “diselamatkan” oleh PD sehingga ia merasa PD (Percaya Diri)? Itulah yang harus dihitung-hitung olehnya. Jangan-jangan menjadi ketua Umum PD membuat dia dibui di masa depan. Seperti slogan orang Medan, Ini Medan Bung! tetapi untuk Anas berubah menjadi: “Ini politik (yang kejam) Bung”! Itulah sebabnya, tulisan ini diberi judul: “Anas Bos Demokrat, Koruptor Bahagia”. (*/Ferly Norman/Kompasiana)
Acara deklarasi Anas Urbaningrum tersebut dilaksanakan di Hotel Sultan yang mewah dan berbintang lima di Jakartas, menurut sekretaris tim sukses Anas, Angelina Sondakh, sudah 359 orang check-in di Hotel Sultan untuk menyongsong malam acara deklarasi Anas pada medio April lalu (Koran Tempo, 15/4). Sungguh suatu “lompatan besar” bagi seorang Anas Urbaningrum bisa mendeklarasikan pencalonannya di hotel super mewah.
Anda bisa mengkalkulasikan sendiri harga kamar standar Hotel Sultan untuk minimal 2 malam (menurut web site hotel sultan hari ini room rate rata-rata mulai dari US$ 100 per malam), belum lagi biaya untuk penyelenggaraan, konsolodasi, mobilisasi dan mendatangkan artis. Kontras sekali dengan 8 tahun yang lalu, dimana Anas “hanya” seorang anggota KPU Pusat dan baru mentas jadi celeb politik Indonesia. Kalau kata Tukul Arwana masih ‘katro‘.
Seperti opini yang ditulis oleh Ferly Norman dalam situs Kompasiana, 15 April 2010, ia mengurai tentang dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus suap saat menjadi anggota KPU. Tepatnya tanggal 8 Juni 2005, Anas didampingi oleh Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan Anggota KPU lainnya Valina Sinka Subekti, mengadakan jumpa pers pengunduran dirinya sebagai anggota KPU. Disebabkan hengkangnya ia ke Partai Demokrat sebagai Ketua Bidang Politik. Padahal KPU Pusat saat itu ditengah sorotan publik akibat gratifikasi dan tertangkap basahnya Mulyana W Kusumah oleh KPK ketika akan menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman.
Sungguh tindakan “penyelematan diri” yang gemilang dan timing yang tepat saat itu. Terbukti pamor Anis makin mencorang setelah itu, sedangkan kemudian beberapa Anggota KPU masuk bui dan yang lainnya pamornya telah tenggelam di hiruk pikuk dunia politik Indonesia. Jadi jangan heran, Bung Anas membayar penyelamatan tersebut dengan retorika yang apik (kadang-kadang tidak nyambung) dan membela habis-habisan kebijakan pemerintah ketika PD dirundung malang akibat gempuran kaus pat-gulipat Bank Century.
Untuk menyegarkan ingatan pembaca maka penulis merangkum beberapa kesaksian seputar kasus KPU saat itu. KPU ketika itu menerima gratifikasi (kick back) dari 11 rekanan KPU sebesar Rp 20 miliar. Kemudian berdasarkan saksi-saksi di persidangan terungkap fakta sbb:
1. Kesaksian Mulyana W Kusumah, anggota KPU Pusat
• Tertangkap basah oleh pegawai KPK ketika menyuap ketua sub tim investigasi BPK sebesar Rp 100 juta.
• “Saya memang mengirim pesan pendek kepada Anas Urbaningrum, yang isinya meminta bantuan menggenapi uang Rp 300 juta untuk auditor BPK”. “Dalam jawabannya, Anas berjanji akan membicarakan permintaan tersebut dengan ketua KPU”. Tetapi Hakim Tipikor kala itu tidak mendalami kesaksian ini. Sehingga Anas “lepas” dari jeratan KPK saat itu.
2. Hamdani Amin, Mantan Kabiro Keuangan KPU Pusat
• Semua anggota KPU mengetahui dana taktis yang berasal dari rekanan KPU senilai total Rp 20 miliar. Juga mereka (anggota KPU) telah menerima dana tersebut , mulai dari pimpinan sampai pegawai harian di lingkungan KPU (detik.com, 8/6/2005).
• Menurut Hamdani, setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu (hampir Rp 1 miliar), Ketua dan Wakil Ketua KPU tentu saja lebih besar.
• Saya mencatat semua pengeluaran dan peruntukan dari dana taktis tersebut secara detail.
3. Hasil Audit BPK terhadap KPU Pusat
• BPK menemukan 33 indikasi penyimpangan senilai lebih dari Rp 179,444 miliar dalam pengadaan barang dan jasa Pemilu 2004 oleh KPU.
• Semua penyimpangan tsb terdiri dari 4 bagian: Kekurangan penerimaan pajak dan keterlambatan pajakkepada rekanan, indikasi kerugian negara, dan pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai dengan ketentuan, antara lain tidak dilampiri dokumen. Bagian keempat adalah pemborosan keungan negara termasuk adanya mark-up dalam pengadaan barang dan jasa.
Akibatnya kasus ini, Ketua KPU beserta 3 orang lainnya masuk bui. Dan lima orang anggota KPU lainnya (termasuk Anas) lepas dari jeratan hukum.
Sekarang dengan “beban sejarah” seperti itu Saudara Anas berani mencalonkan dirinya menjadi Ketua Umum Demokrat. Entah siapa yang mengelus-elus Anas sehingga maju mencalokan diri. Karena untuk menjadi Ketua Umum Partai di Indonesia, tidak hanya dibutuhkan kehebatan tetapi juga punya “gizi” yang gemuk.
Nampaknya, dengan masa lalu Anas di KPU dulu, akan menjadikannya “tawanan” di mata beberapa oportunis dan para koruptor kakap di Indonesia. Jika ia berani melibas para mafia hukum tersebut maka pasti menimbulkan perlawanan yang kuat dari para koruptor tersebut. Kasus KPU Pusat tahun 2005 akan menjadi sasaran tembak sekaligus alat “gertak” dari sang koruptor.
Sekarang timbul pertanyaannya, apakah Anas sudah lupa dengan masalah di atas? apa karena ia dalam eforia kemenangan Pilleg dan Pilpres PD dan “diselamatkan” oleh PD sehingga ia merasa PD (Percaya Diri)? Itulah yang harus dihitung-hitung olehnya. Jangan-jangan menjadi ketua Umum PD membuat dia dibui di masa depan. Seperti slogan orang Medan, Ini Medan Bung! tetapi untuk Anas berubah menjadi: “Ini politik (yang kejam) Bung”! Itulah sebabnya, tulisan ini diberi judul: “Anas Bos Demokrat, Koruptor Bahagia”. (*/Ferly Norman/Kompasiana)